RESUME
MATERI KULIAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI ISLAM
1.
ASUMSI
DASAR HUKUM EKONOMI ISLAM
a.
Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi islam
adalah pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan pengaturan syariah untuk
menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya material
agar memberikan kepuasan kepada manusia sehingga memungkinkan manusia
melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah SWT dan masyarakat. Ilmu ekonomi islam: Suatu kajian yang
senantiasa memperhatikan rambu-rambu metodologi ilmiah. Sisitem ekonomi islam: Salah satu aspek dalam
sisitem nilai islam bagi seorang muslim.
b.
Asumsi
dasar ekonomi islam
• Naluri Manusiawi
• Materi
• Kepemilikan
• Universalisme
• Naluri Manusiawi
• Materi
• Kepemilikan
• Universalisme
c.
Arti dan hakekat ekonomi Islam
Ekonomi Islam:
syarat Islam dalam aspek ekonomi yang menyangkut cara bagaimana kebutuhan hidup
material manusia dapat terpenuhi.
d.
Etika ekonomi Islam
a. Orientasi aktivitas kehidupan : IBADAH
b. Kerja wajib hukumnya
c. Membina nilai ukhuwah
d. Menarik mashlahat dan menghindarkan modharat
e. Hak kepemilikan pada hakekatnya adalah amanah Alloh
a. Orientasi aktivitas kehidupan : IBADAH
b. Kerja wajib hukumnya
c. Membina nilai ukhuwah
d. Menarik mashlahat dan menghindarkan modharat
e. Hak kepemilikan pada hakekatnya adalah amanah Alloh
e.
Lima landasan ekonomi Islam
1.
Nilai dasar
• Hakekat kepemilikan
• Keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
• Hakekat kepemilikan
• Keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
2.
Nilai instrumental
• Kewajiban 2 zakat
• Jaminan sosial
• Larangan riba
• Peranan negara
• Keislaman ekonomi
• Kewajiban 2 zakat
• Jaminan sosial
• Larangan riba
• Peranan negara
• Keislaman ekonomi
3.
Nilai
filosofis
• Sistem ekonomi Islam terikat nilai; bersifat dinamik
• Sistem ekonomi Islam terikat nilai; bersifat dinamik
4.
Nilai normatif
• Landasan akidah; akhlak; syariah
• Landasan akidah; akhlak; syariah
5.
Nilai praktis
• Azas manfaat
• Keseimbangan antar kepentingan pribadi dan masyaraka
• Azas manfaat
• Keseimbangan antar kepentingan pribadi dan masyaraka
2.
METODE
STUDY EKONOMI ISLAM
Ruang
Lingkup Metodologi Studi Ekonomi Islam
1.
Segi materi
didikannya; meliputi pendidikan fisik, akal, agama (akidah dan syari’ah),
akhlak, dan sosial kemasyarakatan yang digambarkan oleh Allah dalam al-qur’an
dan hadits.
2.
Segi sejarah
atau periodenya, meliputi; periode pembinanaan masa nabi Muhammad saw
(penurunan wahyu hingga wafat). Periode wafatnya nabi Muhammad hingga
perkembangan ilmu-ilmu naqliyah pada masa bani Umayyah, periode kejayaan,
kemunduran dan pembaharuan pendidikan islam dan sistem Ekonomi Islam.
3.
Segi kelembagaanya,
meliputi; model-model pendidikan seperti kuttab, masjid, masjid khan dan
madrasah.
4.
Segi sistem dan kedudukannya sebagai suatu
ilmu, mengandung aspek tujuan, kurikulum, guru, proses pembelajaran, metode
pendekatan, manajemen pendidikan dan seterusnya. Dan sungguh hal-hal tersebut
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Peran
dan Tujuan Metodologi Studi Ekonomi
Islam
Beberapa argumentasi awal untuk membuktikan perkembangan positif
perkembangan Islam di suatu kawasan, yaitu:
Pertama. Islam sebagai agama perdamaian. Bentuk pernyataan keesaan
kepada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa harus disertai dengan kemaslahatan
persaudaraan umat manusia. Kedua. Islam menjalankan peran dalam menghadapi
problematika hidup manusia. Mencakup masalah keagamaan, politik, ekonomi,
sosial, pendidikan, hukum, budaya. Ajaran Islam tidak sebatas keyakinan un sich
kepada Tuhan. Tetapi mencakup semua sistem kehidupan bermasyarakat dengan
multidimensinya. Ketiga. Peran sosial Islam dalam menghadapi perbedaan kasta
dan strata sosial, termasuk perbedaan gender, warna kulit, suku bangsa, bahasa,
dan agama. Semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan, hanya tingkat ketaqwaan
dan prestasi usahanya di dunia yang membedakannya menurut Tuhan. Ajaran Islam
harus dibuktikan secara komprehensif sebagai agama yang mengutamakan kesetaraan
antar manusia sesuai dengan potensi dan fungsi masing-masing. Bersifat egaliter
dalam masyarakat sebagai makhluk dan hamba Allah SWT. Keempat. Peran politik
dan hukum Islam menekankan pada keadilan, kebijaksanaan, dan menegaskan
supremasi hukum. Setiap pemimpin dalam ajaran Islam harus memberikan
ketentraman dan keamanan, serta selalu mengutamakan kepentingan orang banyak. Kelima.
Pendidikan Islam memberikan ruang bebas dalam pemenuhan hak-hak manusia dalam
mendapatkan pendidikan. Pemerataan pendidikan termasuk misi Islam, malah
mempelajari ilmu adalah kewajiban sampai tutup usia. Keenam. Ekonomi Islam
memerangi praktek riba yang merugikan dan membuat seseorang terjerat dengan
lipatan bunga. Menganjurkan kejujuran demi kebaikan dan keadilan manusia.
Menolak praktek kecurangan timbangan, penipuan jual beli, monopoli komoditas
ekonomi, dan kapitalisme yang menghalalkan segala cara.
Kekayaan materi merupakan sarana berbuat baik dan memajukan manusia
lain. Persaingan tidak sehat membuat rakyat lemah semakin miskin. Ajaran Islam
menganjurkan pemanfaatan optimal harta untuk kebaikan dunia dan akhirat. Bukan
malah menjadi budak dari harta.
1.
Mengungkap
faktor emosional dalam kerangka rasional, aktual, dan kultural berupa kecintaan
pada agama Islam.
2.
Membuktikan
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan memberikan kebaikan bagi kehidupan umat
manusia di muka bumi ini.
3.
Menghilangkan
paradigma negatif sebagian masyarakat dunia terhadap agama Islam. Tanggapan negatif
terhadap Islam sering kali menyudutkan komunitas Muslim di berbagai negara.
3.
PRILAKU
EKONOMI ISLAM
kegiatan ekonomi adalah bagian dari keberagaman, sehingga
pencapaian tujuannya perlu diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan risalah.
Sebagai ilmu yang tidak bebas nilai, Ekonomi Islam bersumber dari al-Qur’an dan
Sunnah. Jika sifat perilaku dan pelaku ekonomi tidak dengan sendirinya
mengantarkan pada tujuan, maka persoalannya sekarang adalah bagaimana mewarnai
perilaku tersebut sehingga memenuhi kualifikasi yang diharapkan.
a.
Akhlak dalam Produksi
Akhlak dalam bidang produksi dibagi dalam tiga
aspek yaitu:
·
Bahan produksi,
- Berasal dari sumber daya alam ( Surat Ibrahim 14 :32-33, Al Anfal 8 : 2-4, Asy Syura 42: 38, Al Baqarah 2 : 3)
- Berasal bahan halal, dilarang mempergadangkan barang yang haram (Al Maidah 5 : 2)
- Bahan thayyib, baik dan bermutu
·
Etika Kerja Produksi
1. Bersungguh-sungguh
2. Amanah
3. Jujur, menyempurnakan timbangan dengan adil
(Al An’am 6 : 152)
4. Bersih, suci, sehat
5. Hegienes
6. Tidak terjadi pemborosan
7. Buruh tunaikan kewajiban majikan tunaikan
kewajiban (Al Hud 11 : 18)
·
Prinsip dalam
produksi
Dalam memproduksi sektor ekonomi, islam
memberiakan kebebasan kepada setiap manusia untuk membuat aturan main sesuai
dengan kreativitas, tingkat keilmuan, situasi dan kondisinya. Islam
memprioritaskan tujuan kegiatan ekonomi yaitu kemaslahatan bagi manusia dan
terhindar dari kemadharatan serta terciptanya efisiensi dalam kehidupan.
Apabila sebuah mesin dapat meningkatkan jumlah produksi, menghemat tenaga,
mengurangi jam kerja karyawan, mengurangi modal dan mendatangkan banyak hasil,
islam menyabutnya dengan baik. Produksi adalah menciptakan kekayaan dengan
memanfaatkan sumber daya alam oleh manusia. Islam menganjurkan manusia untuk memanfaatkan
sumber daya alam secukupnya (Q.S Ibrahim 14: 32-34)
Prinsip-prinsip Islam
dalam berproduksi
a.
Rezeki akan didapat dengan bekerja dan berusaha
(Al Mulk 67 : 15)
b.
Bekerja adalah ibadah. Islam menganjurkan
manusia untuk memproduksi sektor-sektor ekonomi; pertanian, perkebunan,
perikanan, perindustrian dan perdagangan.
c.
Tujuan bekerja adalah mencapai tujuan hidup
untuk kemaslahatan keluarga dan masyarakat, memakmurkan diri dan
mendekatkan diri kepada Allah.
d.
Bekerja dengan tekun, islam menganjurkan manusia
untuk bekerja secara tekun, tidak asal jadi, tidak sembarangan, supaya kualitas
produksinya tinggi. Misal menyembelih hewan dengan pisau yang sebelumnya diasah
menjadi tajam.
b.
Akhlak Dalam Konsumsi
- Memanfaatkan harta untuk kebaikan, menjauhi sifat kikir, menggunakan harta secukupnya (Al Baqarah 2:3, An Nisa 4:39, Al Anfal 8:3-4, Asy Syura 42:38)
- Menggunakan harta untuk kemanfataan yang membawa kebaikan, harta wajib dibelanjakan (Qs. 2:3, 4:39, 8:2-4, 42:38)
- Sasaran membelanjkan harta : Fi sabilillah, diri dan keluarga, kaum kerabat dan masyarakat.
- Larangan Islam dalam membelanjakan harta secara berlebihan.
Prinsip Islam dalam
konsumsi
1.
Memanfaatkan harta dalam kebaikan dan menjauhi
sifat kikir.
- Memanfaatkan harta secukupnya untuk menikmati karunia Allah dan mewujudkan kemaslahatan umum (sosialisme bukan individualisme atau kapitalisme). Biasakan menabung dan hidup sederhana.
- Membelanjakan harta hukumnya wajib, bukan sekedar anjuran, memanfaatkan barang dilakukan setelah beriman kepada Allah (Al Baqarah 2:3)
- Sasaran belanja adalah fisabilillah, diri dan keluarga. Maksudnya adalah zakat (wajib) dan Shadaqah (sunnah)
- Islam melarang mudadzir Mubadzir adalah menghamburkan uang tanpa ada kemaslahatan dan tidak mendapat pahala (Al A’raf 7:31).
- Akhlak Dalam Sirkulasi
- Pengertian sirkulasi adalah kumpulan perjanjian dan proses yang di porosnya manusia menjalankan aktifitas.
4.
HUKUM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Pengelolaan SDA Dalam Konsep Islam
- Dengan memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
- Sumber Daya Lahan atau Tanah: Manusia berasal dari tanah dan hidup dari dan di atas tanah. Hubungan antara manusia dan tanah sangat erat. Kelangsungan hidup manusia diantaranya tergantung dari tanah dan sebaliknya, tanahpun memerlukan perlindungan manusia untuk eksistensinya sebagai tanah yang memiliki fungsi: .Allah SWT berfirman :”Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuhan-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak Beriman.” (QS. 26 : 7-8).
- Sumber Daya Air: Selain lahan atau tanah, yang tak kalah pentingnya adalah air. “Everything originated in the water. Everything is sustained by water”. Manusia membutuhkan air untuk hidupnya, karena dua pertiga tubuh manusia terdiri dari air. Allah SWT berfirman : “Dan Kami beri minum kamu dengan air tawar ?” (QS. 77 : 27). Dan bahkan tanpa air seluruh gerak kehidupan akan terhenti.
- Manusia telah diperingatkan Allah SWT dan Rasul-Nya agar jangan melakukan kerusakan di bumi, akan tetapi manusia mengingkarinya. Allah SWT berfirman : “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. 2 : 11). Keingkaran mereka disebabkan karena keserakahan mereka dan mereka mengingkari petunjuk Allah SWT dalam mengelola bumi ini. Sehingga terjadilah bencana alam dan kerusakan di bumi karena ulah tangan manusia. Allah SWT berfirman “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Katakanlah : “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. 30 : 41-42).
5.
HAK
MILIK PRIBADI
Setiap manusia memiliki kebutuhan, sehingga
sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia agar
tidak melanggar hak-hak orang lain, maka timbulah hak-hak diantara sesama
manusia, lebih tepatnya hak kepemilikan.
Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di
atas, bahwa perbedaan hak dan pemilik adalah tidak semua yang memiliki berhak
menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki. Setiap
pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip
setiap pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan sempurna).
Sebaliknya,setiap pemilikan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan
atas bendanya,sebagaimana yang terjadi pada ijarah
(persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda
tidak dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan
maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada
artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal)
jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh
oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal
(harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat
merupakan unsur utama milkiyah
(pemilikan).
Ø Proses kepemilikan harus didapatkan melalui cara yang sah menurut
agama Islam.
Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut agama islam. Dan Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam Al-Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah menurut agama islam) :
Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut agama islam. Dan Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam Al-Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah menurut agama islam) :
·
Diambil dari
suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal : barang tambang, menggarap lahan yang
mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air sungai, dll.
·
Diambil dari
pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misal : harta rampasan.
·
Diambil secara
paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban, misal : zakat.
·
Diambil secara
sah dari pemiliknya dan diganti, misal : jual beli dan ikatan perjanjian dengan
menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syariat.
·
Diambil tanpa
diminta, misal : harta warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.
Ø Penggunaan benda-benda milik pribadi tidak boleh berdampak negatif/
mudharat pada orang lain, tapi memperhatikan masalah umat. Islam membenarkan
hak milik pribadi, karena islam memelihara keseimbangan antara pemuasan beragam
watak manusia dan kebaikan umum dimasyarakat. Dalam hubungan ini, ada syarat
yang harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu dalam mengakui keberadaan
hak milik pribadi yaitu memperhatikan masalah umat. Islam mendorong pemilik
harta untuk menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada masyarakat/umat setelah
mememnuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keluarga (zakat). Tetapi, membatasi
hak untuk menggunakan harta itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan
untuk perlindungan kebaikan umum dan agar hak milik pribadi tidak memberikan
dampak negatif pada orang lain. Inilah paham islam yang moderat dalam mengakui
hak pribadi. Ia mengambil sikap moderat antara mereka yang mendewakan hak miik
dan mereka yang secara mutlak menafikan hak milik.
Ø Dalam penggunaan hak milik
pribadi untuk kepentingan pribadi dibatasi oleh ketentuan syariat. Setiap
individu memiiki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara
produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta. Tetapi,
haknya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai syariat,
tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena, juga tak boleh
menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam bertransaksi pun tidak
boleh melakukan cara-cara yang terlarang. Karena manusia hanya sebagai pemegang
amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima batasan-batasan yang
dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda tersebut. Batasan
tersebut semata-mata untuk mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda
yang bertindak sewenang-wenang (ekspolitasi) dalam masyarakat. Pemilik harta
yang baik adalah yang bertenggang rasa dalam menikmati hak mereka denganbebas
tanpa dibatasi dan dipengaruhi oleh kecenderungan diatas sehingga dapat
mencapai keadilan sosial di dalam masyarakat.
6.
HAK
MILIK UMUM
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif).
Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak terdapat
pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki makna yang
sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimasud
oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini memiliki
bentuk yang berbeda beda. Misalnya : semua harta milik masyarakat yang
memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang
berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar
pada masyarakat berada di bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain
diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik
masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan
umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah
wakaf.
7.
HAK
MILIK NEGARA
Tipe ketiga dari kepemilikan adalah hak milik oleh negara. Negara
membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber penghasilan dan
kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misal, untuk
menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan tatanan
masyarakat yang terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn taimiyah, sumber utama
kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu, negara
juga meningkatkan sumber pengahsilan dengan mengenakan pajak kepada warga
negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula,
berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan
denda termasuk sumber kekayaan negara.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala
negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban negara
untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat dilarang
penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban
negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi
masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah
dalam hal distribusi pendapatan.
8.
KESEIMBANGAN
EKONOMI ISLAM
1. Kejujuran
(amanah)
Kata al-amanah, yang secara etimologis
berarti “jujur dan lurus”. Secara terminologis syar’i, “sesuatu yang harus
dijaga dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya”. Dengan demikian
kejujuran (al-amanah) di sini ialah suatu sifat dan sikap yang setia,
tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya,
baik berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban. Pelaksanaan amanat
dengan baik dapat disebut ”al-amin” yang berarti: yang dapat dipercaya,
yang jujur, yang setia, yang aman. Dalam konteks sekarang, salah satu bentuk
penyalahgunaan amanat adalah perilaku KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Ketiganya sangat berpotensi mengabaikan prinsip profesionalisme dan integritas
moral.
2. Keadilan (‘Adalah)
Adil memiliki makna, meletakan sesuatu pada
tempatnya; menempatkan secara proporsional; perlakuan setara atau seimbang.
Dalam al-Qur`an kata-kata adil sering di kontradiktifkan dengan makna dzulm (dzalim)
dan itsm (dosa). Adapun makna keadilan disisi lain sering diartikan
sebagai sikap yang selalu menggunakan ukuran sama, bukan ukuran ganda.
Dan sikap ini yang membentuk seseorang untuk tidak berpihak pada salah satu
yang berselisih. Menurut Al-Ashfahani “adil”, dinyatakan sebagai memperlakukan
orang lain setara dengan perlakuan terhadap diri sendiri. Dimana ia berhak
mengambil semua yang menjadi haknya, dan atau memberi semua yang menjadi hak
orang lain. (Quraish Shihab, 2002). Sifat dan sikap adil ada dua
macam. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang behubungan
dengan kemasyarakatan dan pemerintahan.
3. Keseimbangan (al-Wustho)
Konsep keseimbangan menjadi konsep lanjutan
yang memiliki benang merah dengan konsep keadilan. Allah menggambarkan
posisinya dengan kondisi dimana bila terjadi ketimpangan dalam kehidupan
berekonomi, maka hendaknya dikembalikan pada posisi semula. Posisi yang tuju
adalah keseimbangan, pertengahan, keadilan.
Beberapa
landasan yang mendukung prinsip ini diantaranya:
أَلاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانَ {8}
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُوا الْمِيزَانَ {9}
Artinya: “Supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. 55:8). Dan tegakkanlah
timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. 55:9).
4. Kebenaran (al-Shidqah)
Kebenaran (al-Shidqah)
ialah berlaku benar, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
5. Tolong Menolong (Ta’awun)
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam lainnya
yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar pembangunan masyarakat adalah
mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya masyarakat sejahtera lahir
batin . Al-Qur’an mengajarkan agar manusia tolong menolong (ta’awun)
dalam kebajikan dan taqwa, jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran:
……….وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا
عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ…..
“…..Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS. al-Maidah/5:2).
6. Kebersamaan dan Persamaan (Ukhuwwah)
Al-Qur’an
mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari keturunan yang sama:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن
ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat/49:13).
7. Kebebasan (Freewill)
Secara umum makna kebebasan dalam ekonomi,
dapat melahirkan dua pengertian yang luas, yakni; kreatif dan kompetitif.
Dengan kreatifitas, seseorang bisa mengeluarkan ide-ide, bisa mengekplorasi dan
mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan ekonominya untuk menghasilkan
sesuatu. Sedangkan dengan kemampuan kompetisi, seseorang boleh berjuang
mempertahankan, memperluas dan menambah lebih banyak apa yang diinginkannya. Dalam
ekonomi Islam, makna kebebasan adalah memperjuangkan apa yang menjadi haknya
dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya sesuai perintah syara’. Kebebasan
ekonomi Islam adalah kebebasan berakhlaq. Berakhlaq dalam berkonsumsi, berproduksi
dan berdistribusi. Dengan kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan
produktifitas dalam ekonomi. Dengan dasar ayat diatas juga, Islam menyarankan
manusia untuk produktif. Kegiatan produksi adalah bagian penting dalam
perekonomian.
9.
MEKANISME
DISTRIBUSI EKONOMI ISLAM
·
Pengertian Distribusi
Distribusi
adalah suatu proses (sebagian hasil penjualan produk) kepada faktor-faktor
produk yang ikut menentukan pendapatan . Dalam kamus bahasa Indonesia
dijelaskan distribusi adalah penyaluran barang ketempat-tempat. Sementara Anas
Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi itu sebagai suatu transfer dari
pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui pasar) atau
dengan cara lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat
Jadi konsep distribusi menurut pandangan islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja serta dapat memberikan kontribusi kearah kehidupan manusia yang baik
Jadi konsep distribusi menurut pandangan islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja serta dapat memberikan kontribusi kearah kehidupan manusia yang baik
·
Tujuan Distribusi
Semua pribadi
dalam masyarakat harus memperoleh jaminan atas kehidupan yang layak. Atas dasar
dapat kita lihat beberapa tujuan ekonomi islam yaitu sebagai berikut:
1.
Islam menjamin kehidupan tiap pribadi rakyat
serta menjamin masyarakat agar tetap sebagai sebuah komunitas yang mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya.
2.
Islam menjamin kemaslahatan pribadi dan
melayani urusan jamaah, serta menjaga eksistensi negara dengan kekuatan yang cukup
sehingga mampu memikul tanggung jawab perekonomian negara.
3.
Mendistribusikan harta orang kaya yang menjadi
hak fakir miskin, serta mengawasi pemanfaatan hak milik umum maupun negara.
4.
Memberikan bantuan sosial dan sumbangan
berdasarkan jalan Allah agar tercapai maslahah bagi seluruh masyarakat.
Nilai Yang Ada Dalam Distribusi Ekonomi Islam
1. Akidah
2. Moral
3. Hukum Syariah .
4. Keadilan
1. Akidah
2. Moral
3. Hukum Syariah .
4. Keadilan
·
Mekanisme Distribusi
Mekanisme
distribusi yang ada dalam ekonomi islam secara garis besar dikelompokan menjadi
dua kelompok mekanisme, yaitu: mekanisme ekonomi dan mekanisme nonekonomi.
1. Mekanisme Ekonomi
1. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme
ekonomi adalah mekanisme distribusi dengan mengandalkan kegiatan ekonomi agar
tercapai distribusi kekayaan. Mekanisme ini dijalankan dengan cara membuat
berbagai ketentuan dan mekanisme ekonomi yang berkaitan dengan distribusi
kekayaan. Dalam menjalankan distribusi kekayaan, maka mekanisme ekonomi
yang ditempuh pada sistem ekonomi islam diantaranya manusia yang seadil-adilnya
dengan cara berikut:
a.
Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi
berlangsungnya sebab-sebab hak milik (asbabu al-tamalluk ) dalam hak milik pribadi
(al-milkiyah al-fardiyah).
b.
Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi
berlangsungnya pengembangan hak milik (tanmiyatu al-milkiyah) melalui kegiatan
investasi.
c.
Laranagn menimbun harta benda walaupun telah
dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonominya
d.
Membuat kebijakan agar harta beredar secara
luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat
pertumbuhan.
e.
Larangan kegiatan monopoli, serta berbagi
penipuan yang dapat mendistorasi pasar.
f.
Laranagn kegiatan judi, riba, korupsi pemberian
suap dan hadiah kepada penguasa.
g.
Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah
atau cuma-cuma ) hasil dari barang-barang dari SDA milik umum (al-milkiyah
al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak,
listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
2. Mekanisme Nonekonomi
Didukung oleh
sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus,
badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadi musibah bencana alam,
dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi
kekayaan kepada orang-orang yang memilki faktor-faktor tersebut. Oleh karena
itu agar tercapai keseimbangan dan kesetaraan ekonomi maka dapat dilakukan
hal-hal berikut:
a.
Pemberian negara kepada rakyat yang
membutuhkan.
Pemberian harta
negara tersebut dengan maksud agar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rakyat
atau agar rakyat dapat memanfaatkan pemilikan secara merata.
b.
Zakat
Pemberian harta
zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada mustahik adalah bentuk lain dari
mekanisme nonekonomi dalam hal distribusi zakat.
c.
Warisan
d.
Shadaqah
Dalam
distribusi non ekonomi kita juga mengenal distribusi pendapatan yang berada
dalam konteks rumah tangga. Distribusi pendapatan dalam konteks rumah
tangga tidak lepas dari terminologi shadaqah
e.
Ganti rugi terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang
kepada orang lain
Distribusi
harta dapat juga terjadi karena adanya ganti rugi (kompensasi) dari
kemudharatan yang menimpa seseorang.
f.
Barang Temuan
Salah satu
bentuk distribusi harta secara nonekonomi adalah penguasaan seseorang atas
harta temuan sehingga apabila ada seseorang telah menemukan suatu barang
dijalan atau disuatu tempat umum, maka harus diteliti terlebih dahulu: apabila
barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkkan. Misalnya emas,
perak, permata dan pakaian, maka barang tersebut harus disimpan dan diumumkan
untuk dicari siapa pemiliknya. Jika selama dalam pengumuman ada pemiliknya yang
datang maka harta tersebut harus diserahkan. Akan tetapi jika tidak ada yang
datang atau tidak ada yang dapat membuktikan bahwa harta tersebut memang
miliknya maka harta tersebut menjadi milik orang yang menemukan dan harus
dikeluarkan khums dari harta tersebut sebagai zakatnya.
10. PENGHAMBAT DISTRIBUSI EKONOMI ISLAM
Distribusi berhubungan dengan keadilan dan pemerataan, sedangkan
sirkulasi releven dengan frekuensi kegiatan pertukaran barang dan jasa. Untuk
kelancaran dan kemashlahatan distribusi dan sirkulasi islam mengharamkan
faktor-faktor penghambatnya, antara lain:
a.
Gharar
b.
Ihtikar
c.
Talqqi
d.
Najasy
Faktor penghambat distribusi dan sirkulasi peluang ekonomi adalah riba.
Riba adalah tambahan atau memberikan lebihan barang/uang seperti bunga pinjaman
atau tukaran. Faktor penghambat distribusi dan sirkulasi keuntungan terjadi
dalam akad-akad (muamalat) adalah dusta, khianat, dan dzalim.
Faktor penghambat distribusi pendapatan adalah KKN Faktor penghambat
permintaan dan penawaran investasi adalah praktek “capital gaint oriented” yang
tanpa batas. Pandangan Islam mengenai konglemerasi dan akuisis. Bahaya
konglomerasi inifisiensi secara makro dan membuat persaingan pasar yang tidak
sehat dan kongkomerat menutup peluang kapitalisasi bagi pengusaha kecil dan
menengah. Sedangkan bahaya akuitis adalah penguasaan capital yang mendorong
system kapitalisme yang menguntungkan pemilik saham dominan.
Faktor
penghambat lain dari distribusi Ekonomi Islam yaitu :
1.
Miskomunikasi
2.
Mis
understanding
3.
Moralitas yang
rendah
4.
SDI yang tidak
tersalurkan sebagaimana mestinya
11. TATANAN SISTEM EKONOMI ISLAM
Tatanan Sistem Ekonomi Islam adalah sebuah kerangka dasar dari
semua sistem yang tepadu yang mengintegrasikan antara tujuan, konsep, landasan
yang diharapkan untuk merealisasikan sistem tersebut sehingga terealisasi. Tatanan
ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar
terhadap manusia dan moralitas. Tatanan ekonomi
yang ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan
Tuhan), khilafah (perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga landasan tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua
pandangan dunia Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan
diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa, dan tidak
terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S. Ali Imran: 191; Shad: 27; al-Mu’minun:
15). Dari pandang tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu
asal manusia juga satu. Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau
wakil-Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165).
Sumber daya alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan
seluruh umat manusia. Pada sisi ini, jelas bertentangan dengan konsep self
interest kapitalisme. Implikasi dari pandangan tersebut adalah pandangan
persaudaraan universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan
menjadikan sumber daya alam sebagai amanah karena statusnya sebagai wakil Tuhan
yang menciptakan alam semesta. Pandangan ini tidak akan terlaksana secara
substansial tanpa dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan
dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan dalam al-Qur’an
sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25). Berdasarkan
landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi, bahkan
pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor ril menjadi tidak
tepat karena mengakibatkan terjadi ketidakadilandan ketidak-merataan.
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling
tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber
daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran
dan keseimbangan (equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan
menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial (Q.S.
an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi
pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi adalah kerusakan
alam yang pada gilirannya adalah ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam).
Kerugiannya juga pada manusia dalam jangka panjang. Kedua, minimalisasi
kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi
Islam, keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu
distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma
fairness yang diterima secara universal. Tujuan ini juga berhubungan
dengan prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S.
al-A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan
penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk
memperbaiki kemiskinan absolut dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan
kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij: 24-25).
Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi Islam bisa dimanfaatkan seperti
zakat dan wakaf. Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan
ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif, sebagian karena
mampu menciptakan kesempatan kerja (baru) yang lebih banyak daripada yang
mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja
juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan
usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk
memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong kegiatan
ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-sektor yang mampu menyerap semua
lapisan. Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral dari
kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah. Peranannya, sebagaimana
dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku
sosial, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang
salah. Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di
antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini,
lembaga ini dapat diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas
dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena
suatu sistem ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan
yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.
12. ASAS PENERAPAN HUKUM ISLAM
Asas hukum
islam adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan Hukum Islam.
Macam-macam asas hukum islam adalah sebagai
berikut :
1. Adam al-Haraj (Meniadakan Kesukaran)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran
senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanakannya. Itu
diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah)
kepada manusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang
dimiliknya.
2. Taqlil Al-taklif (Menyedikitkan pembebanan)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif
(penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan
dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf
agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar
menurut kacamata sosial. Hal ini berguna memperingan dan menjaga nilai-nilai
kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa
didasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
3. Tadarruj fi al-Tasyri’ (Berangsur-angsur
dalam pesyariatan)
Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua,
yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak
diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara
bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang
tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan
realita yang terjadi pada waktu itu.
4. Muthobiqun Li Mashalihil Ummah (Sejalan
dengan kemashlahatan ummat)
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum
al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi
kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan,
agama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran
senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat
Islam.
5. Tahqiqul ‘Adalah (Menghendaki adanya realisasi keadilan)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip
utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan
hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatapi juga bagi seluruh
agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran
masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum
sesuai hukum Islam.
Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama: ketakwaan yang
tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah masyarakat.Kedua:
sikap masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi
serta mengoreksi perilaku penguasa. Ketiga: negara/pemerintahan sebagai
pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat ketakwaan individu dan kontrol
sosial, pelaksana tathbîq al-ahkâm adalah negara. Realitas menunjukkan bahwa
individu dan masyarakat melaksanakan Islam. Adapun negara adalah pihak yang
menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam di tengah-tengah
masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode tathbîq al-ahkâm.
Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat Islam. Kepala
negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan amanah itu. Bahkan
sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang
sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ
رَعِيَتِهِ»
Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas
rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat:
Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabîr, II/330-331).
13. HUKUM POLITIK EKONOMI ISLAM
1.
Pengertian
Politik Hukum
Politik
hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk
membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.
Politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan
negara.
2.
Politik ekonomi Islam
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin
dicapai oleh hokum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur
urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya
pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs)
tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan taip orang untuk memenuhi
kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagi
individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu.
3.
Politik Hukum Ekonomi Syariah
Perkembangan
politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengan
keluarnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil.Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil.Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.
Dengan
diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, landasan hukum bank syariah menjadi cukup jelas dan kuat,
baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini
‘prinsip syariah’ secara definitif terakomodasi.Eksistensi bank syariah semakin
diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan
prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11).