Rabu, 29 Mei 2013

RESUME Aspek hukum ekonomi islam



RESUME MATERI KULIAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI ISLAM
1.    ASUMSI DASAR HUKUM EKONOMI ISLAM
a.          Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan pengaturan syariah untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya material agar memberikan kepuasan kepada manusia sehingga memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah SWT dan masyarakat. Ilmu ekonomi islam: Suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu metodologi ilmiah. Sisitem ekonomi islam: Salah satu aspek dalam sisitem nilai islam bagi seorang muslim.
b.       Asumsi dasar ekonomi islam
• Naluri Manusiawi
• Materi
• Kepemilikan
• Universalisme
c.       Arti dan hakekat ekonomi Islam
Ekonomi Islam: syarat Islam dalam aspek ekonomi yang menyangkut cara bagaimana kebutuhan hidup material manusia dapat terpenuhi.
d.      Etika ekonomi Islam
a. Orientasi aktivitas kehidupan : IBADAH
b. Kerja wajib hukumnya
c. Membina nilai ukhuwah
d. Menarik mashlahat dan menghindarkan modharat
e. Hak kepemilikan pada hakekatnya adalah amanah Alloh
e.       Lima landasan ekonomi Islam
1.      Nilai dasar
• Hakekat kepemilikan
• Keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
2.      Nilai instrumental
• Kewajiban 2 zakat
• Jaminan sosial
• Larangan riba
• Peranan negara
• Keislaman ekonomi
3.       Nilai filosofis
• Sistem ekonomi Islam terikat nilai; bersifat dinamik
4.      Nilai normatif
• Landasan akidah; akhlak; syariah
5.      Nilai praktis
• Azas manfaat
• Keseimbangan antar kepentingan pribadi dan masyaraka









2.      METODE STUDY EKONOMI ISLAM
Ruang Lingkup Metodologi Studi Ekonomi  Islam
1.      Segi materi didikannya; meliputi pendidikan fisik, akal, agama (akidah dan syari’ah), akhlak, dan sosial kemasyarakatan yang digambarkan oleh Allah dalam al-qur’an dan hadits.
2.      Segi sejarah atau periodenya, meliputi; periode pembinanaan masa nabi Muhammad saw (penurunan wahyu hingga wafat). Periode wafatnya nabi Muhammad hingga perkembangan ilmu-ilmu naqliyah pada masa bani Umayyah, periode kejayaan, kemunduran dan pembaharuan pendidikan islam dan sistem Ekonomi Islam.
3.      Segi kelembagaanya, meliputi; model-model pendidikan seperti kuttab, masjid, masjid khan dan madrasah.
4.       Segi sistem dan kedudukannya sebagai suatu ilmu, mengandung aspek tujuan, kurikulum, guru, proses pembelajaran, metode pendekatan, manajemen pendidikan dan seterusnya. Dan sungguh hal-hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Peran dan Tujuan Metodologi Studi Ekonomi  Islam
Beberapa argumentasi awal untuk membuktikan perkembangan positif perkembangan Islam di suatu kawasan, yaitu:
Pertama. Islam sebagai agama perdamaian. Bentuk pernyataan keesaan kepada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa harus disertai dengan kemaslahatan persaudaraan umat manusia. Kedua. Islam menjalankan peran dalam menghadapi problematika hidup manusia. Mencakup masalah keagamaan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, budaya. Ajaran Islam tidak sebatas keyakinan un sich kepada Tuhan. Tetapi mencakup semua sistem kehidupan bermasyarakat dengan multidimensinya. Ketiga. Peran sosial Islam dalam menghadapi perbedaan kasta dan strata sosial, termasuk perbedaan gender, warna kulit, suku bangsa, bahasa, dan agama. Semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan, hanya tingkat ketaqwaan dan prestasi usahanya di dunia yang membedakannya menurut Tuhan. Ajaran Islam harus dibuktikan secara komprehensif sebagai agama yang mengutamakan kesetaraan antar manusia sesuai dengan potensi dan fungsi masing-masing. Bersifat egaliter dalam masyarakat sebagai makhluk dan hamba Allah SWT. Keempat. Peran politik dan hukum Islam menekankan pada keadilan, kebijaksanaan, dan menegaskan supremasi hukum. Setiap pemimpin dalam ajaran Islam harus memberikan ketentraman dan keamanan, serta selalu mengutamakan kepentingan orang banyak. Kelima. Pendidikan Islam memberikan ruang bebas dalam pemenuhan hak-hak manusia dalam mendapatkan pendidikan. Pemerataan pendidikan termasuk misi Islam, malah mempelajari ilmu adalah kewajiban sampai tutup usia. Keenam. Ekonomi Islam memerangi praktek riba yang merugikan dan membuat seseorang terjerat dengan lipatan bunga. Menganjurkan kejujuran demi kebaikan dan keadilan manusia. Menolak praktek kecurangan timbangan, penipuan jual beli, monopoli komoditas ekonomi, dan kapitalisme yang menghalalkan segala cara.
Kekayaan materi merupakan sarana berbuat baik dan memajukan manusia lain. Persaingan tidak sehat membuat rakyat lemah semakin miskin. Ajaran Islam menganjurkan pemanfaatan optimal harta untuk kebaikan dunia dan akhirat. Bukan malah menjadi budak dari harta.
1.      Mengungkap faktor emosional dalam kerangka rasional, aktual, dan kultural berupa kecintaan pada agama Islam.
2.      Membuktikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan memberikan kebaikan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
3.      Menghilangkan paradigma negatif sebagian masyarakat dunia terhadap agama Islam. Tanggapan negatif terhadap Islam sering kali menyudutkan komunitas Muslim di berbagai negara.

3.      PRILAKU EKONOMI ISLAM
kegiatan ekonomi adalah bagian dari keberagaman, sehingga pencapaian tujuannya perlu diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan risalah. Sebagai ilmu yang tidak bebas nilai, Ekonomi Islam bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Jika sifat perilaku dan pelaku ekonomi tidak dengan sendirinya mengantarkan pada tujuan, maka persoalannya sekarang adalah bagaimana mewarnai perilaku tersebut sehingga memenuhi kualifikasi yang diharapkan.
a.       Akhlak dalam Produksi
Akhlak dalam bidang produksi dibagi dalam tiga aspek yaitu:
·         Bahan produksi,
  1. Berasal dari sumber daya  alam ( Surat Ibrahim 14 :32-33, Al Anfal 8 : 2-4, Asy Syura 42: 38, Al Baqarah 2 : 3)
  2. Berasal bahan halal, dilarang mempergadangkan barang yang haram (Al Maidah 5 : 2)
  3. Bahan thayyib, baik dan bermutu
·         Etika Kerja Produksi
1. Bersungguh-sungguh
2. Amanah
3. Jujur, menyempurnakan timbangan dengan adil (Al An’am 6 : 152)
4. Bersih, suci, sehat
5. Hegienes
6. Tidak terjadi pemborosan
7. Buruh tunaikan kewajiban majikan tunaikan kewajiban (Al Hud 11 : 18)
·         Prinsip dalam produksi
Dalam memproduksi sektor ekonomi, islam memberiakan kebebasan kepada setiap manusia untuk membuat aturan main sesuai dengan kreativitas, tingkat keilmuan, situasi dan kondisinya. Islam memprioritaskan tujuan kegiatan ekonomi yaitu kemaslahatan bagi manusia dan terhindar dari kemadharatan serta terciptanya efisiensi dalam kehidupan. Apabila sebuah mesin dapat meningkatkan jumlah produksi, menghemat tenaga, mengurangi jam kerja karyawan, mengurangi modal dan mendatangkan banyak hasil, islam menyabutnya dengan baik. Produksi adalah menciptakan kekayaan dengan memanfaatkan sumber daya alam oleh manusia. Islam menganjurkan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam secukupnya (Q.S Ibrahim 14: 32-34)
Prinsip-prinsip Islam dalam berproduksi
a.       Rezeki akan didapat dengan bekerja dan berusaha (Al Mulk 67 : 15)
b.      Bekerja adalah ibadah. Islam menganjurkan manusia untuk memproduksi sektor-sektor ekonomi; pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian dan perdagangan.
c.       Tujuan bekerja adalah mencapai tujuan hidup untuk kemaslahatan keluarga dan masyarakat,  memakmurkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah.
d.      Bekerja dengan tekun, islam menganjurkan manusia untuk bekerja secara tekun, tidak asal jadi, tidak sembarangan, supaya kualitas produksinya tinggi. Misal menyembelih hewan dengan pisau yang sebelumnya diasah menjadi tajam.
b.      Akhlak Dalam Konsumsi
  1. Memanfaatkan harta untuk kebaikan, menjauhi sifat kikir, menggunakan harta secukupnya (Al Baqarah 2:3, An Nisa 4:39, Al Anfal 8:3-4, Asy Syura 42:38)
  2. Menggunakan harta untuk kemanfataan yang membawa kebaikan, harta wajib dibelanjakan (Qs. 2:3, 4:39, 8:2-4, 42:38)
  3. Sasaran membelanjkan harta : Fi sabilillah, diri dan keluarga, kaum kerabat dan masyarakat.
  4. Larangan Islam dalam membelanjakan harta secara berlebihan.
Prinsip Islam dalam konsumsi
1.      Memanfaatkan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
  1. Memanfaatkan harta secukupnya untuk menikmati karunia Allah dan mewujudkan kemaslahatan umum (sosialisme bukan individualisme atau kapitalisme). Biasakan menabung dan hidup  sederhana.
  2. Membelanjakan harta hukumnya wajib, bukan sekedar anjuran, memanfaatkan barang dilakukan setelah beriman kepada Allah (Al Baqarah 2:3)
  3. Sasaran belanja adalah fisabilillah, diri dan keluarga. Maksudnya adalah zakat (wajib) dan Shadaqah (sunnah)
  4.  Islam melarang mudadzir Mubadzir adalah menghamburkan uang tanpa ada kemaslahatan dan tidak mendapat pahala (Al A’raf   7:31).
  5. Akhlak Dalam Sirkulasi
  6. Pengertian sirkulasi adalah kumpulan perjanjian dan proses yang di porosnya manusia menjalankan aktifitas.


4.      HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Pengelolaan SDA Dalam Konsep  Islam
  1. Dengan memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
  2. Sumber Daya Lahan atau Tanah: Manusia berasal dari tanah dan hidup dari dan di atas tanah. Hubungan antara manusia dan tanah sangat erat. Kelangsungan hidup manusia diantaranya tergantung dari tanah dan sebaliknya, tanahpun memerlukan perlindungan manusia untuk eksistensinya sebagai tanah yang memiliki fungsi: .Allah SWT berfirman :”Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuhan-tumbuhan yang baik? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak Beriman.” (QS. 26 : 7-8).
  3. Sumber Daya Air: Selain lahan atau tanah, yang tak kalah pentingnya adalah air. “Everything originated in the water. Everything is sustained by water”. Manusia membutuhkan air untuk hidupnya, karena dua pertiga tubuh manusia terdiri dari air. Allah SWT berfirman : “Dan Kami beri minum kamu dengan air tawar ?” (QS. 77 : 27). Dan bahkan tanpa air seluruh gerak kehidupan akan terhenti.
  4. Manusia telah diperingatkan Allah SWT dan Rasul-Nya agar jangan melakukan kerusakan di bumi, akan tetapi manusia mengingkarinya. Allah SWT berfirman : “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. 2 : 11). Keingkaran mereka disebabkan karena keserakahan mereka dan mereka mengingkari petunjuk Allah SWT dalam mengelola bumi ini. Sehingga terjadilah bencana alam dan kerusakan di bumi karena ulah tangan manusia. Allah SWT berfirman “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Katakanlah : “Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. 30 : 41-42).
5.      HAK MILIK PRIBADI
Setiap manusia memiliki kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar hak-hak orang lain, maka timbulah hak-hak diantara sesama manusia, lebih tepatnya hak kepemilikan.
Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di atas, bahwa perbedaan hak dan pemilik adalah tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki. Setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan sempurna). Sebaliknya,setiap pemilikan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana yang terjadi pada ijarah (persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal (harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat merupakan unsur utama milkiyah (pemilikan).

Ø  Proses kepemilikan harus didapatkan melalui cara yang sah menurut agama Islam.
Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut agama islam. Dan Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam Al-Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah menurut agama islam) :
·         Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal : barang tambang, menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air sungai, dll.
·         Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misal : harta rampasan.
·         Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban, misal : zakat.
·         Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misal : jual beli dan ikatan perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syariat.
·         Diambil tanpa diminta, misal : harta warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.
Ø  Penggunaan benda-benda milik pribadi tidak boleh berdampak negatif/ mudharat pada orang lain, tapi memperhatikan masalah umat. Islam membenarkan hak milik pribadi, karena islam memelihara keseimbangan antara pemuasan beragam watak manusia dan kebaikan umum dimasyarakat. Dalam hubungan ini, ada syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu dalam mengakui keberadaan hak milik pribadi yaitu memperhatikan masalah umat. Islam mendorong pemilik harta untuk menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada masyarakat/umat setelah mememnuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keluarga (zakat). Tetapi, membatasi hak untuk menggunakan harta itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini dilakukan untuk perlindungan kebaikan umum dan agar hak milik pribadi tidak memberikan dampak negatif pada orang lain. Inilah paham islam yang moderat dalam mengakui hak pribadi. Ia mengambil sikap moderat antara mereka yang mendewakan hak miik dan mereka yang secara mutlak menafikan hak milik.
Ø   Dalam penggunaan hak milik pribadi untuk kepentingan pribadi dibatasi oleh ketentuan syariat. Setiap individu memiiki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta. Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai syariat, tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena, juga tak boleh menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam bertransaksi pun tidak boleh melakukan cara-cara yang terlarang. Karena manusia hanya sebagai pemegang amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima batasan-batasan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda tersebut. Batasan tersebut semata-mata untuk mencegah kecenderungan sebagian pemilik harta benda yang bertindak sewenang-wenang (ekspolitasi) dalam masyarakat. Pemilik harta yang baik adalah yang bertenggang rasa dalam menikmati hak mereka denganbebas tanpa dibatasi dan dipengaruhi oleh kecenderungan diatas sehingga dapat mencapai keadilan sosial di dalam masyarakat.

6.      HAK MILIK UMUM
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif). Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimasud oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk yang berbeda beda. Misalnya : semua harta milik masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.
7.      HAK MILIK NEGARA
Tipe ketiga dari kepemilikan adalah hak milik oleh negara. Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber pengahsilan dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula, berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan negara.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.
8.      KESEIMBANGAN EKONOMI ISLAM
1.      Kejujuran (amanah)
Kata al-amanah, yang secara etimologis berarti “jujur dan lurus”. Secara terminologis syar’i, “sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya”. Dengan demikian kejujuran (al-amanah) di sini ialah suatu sifat dan sikap yang setia, tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, baik berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban. Pelaksanaan amanat dengan baik dapat disebut ”al-amin” yang berarti: yang dapat dipercaya, yang jujur, yang setia, yang aman. Dalam konteks sekarang, salah satu bentuk penyalahgunaan amanat adalah perilaku KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ketiganya sangat berpotensi mengabaikan prinsip profesionalisme dan integritas moral.
2.       Keadilan (‘Adalah)
Adil memiliki makna, meletakan sesuatu pada tempatnya; menempatkan secara proporsional; perlakuan setara atau seimbang. Dalam al-Qur`an kata-kata adil sering di kontradiktifkan dengan makna dzulm (dzalim) dan itsm (dosa). Adapun makna keadilan disisi lain sering diartikan sebagai sikap yang selalu menggunakan ukuran sama, bukan ukuran ganda. Dan sikap ini yang membentuk seseorang untuk tidak berpihak pada salah satu yang berselisih. Menurut Al-Ashfahani “adil”, dinyatakan sebagai memperlakukan orang lain setara dengan perlakuan terhadap diri sendiri. Dimana ia berhak mengambil semua yang menjadi haknya, dan atau memberi semua yang menjadi hak orang lain. (Quraish Shihab, 2002). Sifat dan sikap adil ada dua macam. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang behubungan dengan kemasyarakatan dan pemerintahan.
3.       Keseimbangan (al-Wustho)
Konsep keseimbangan menjadi konsep lanjutan yang memiliki benang merah dengan konsep keadilan. Allah menggambarkan posisinya dengan kondisi dimana bila terjadi ketimpangan dalam kehidupan berekonomi, maka hendaknya dikembalikan pada posisi semula. Posisi yang tuju adalah keseimbangan, pertengahan, keadilan.
Beberapa landasan yang mendukung prinsip ini diantaranya:
أَلاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانَ {8} وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُوا الْمِيزَانَ {9}
Artinya: “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. 55:8). Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. 55:9).
4.       Kebenaran (al-Shidqah)
Kebenaran (al-Shidqah) ialah berlaku benar, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
5.       Tolong Menolong (Ta’awun)
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar pembangunan masyarakat adalah mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya masyarakat sejahtera lahir batin . Al-Qur’an mengajarkan agar manusia tolong menolong (ta’awun) dalam kebajikan dan taqwa, jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran:
……….وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ…..
“…..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS. al-Maidah/5:2).
6.       Kebersamaan dan Persamaan (Ukhuwwah)
Al-Qur’an mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari keturunan yang sama:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat/49:13).
7.       Kebebasan (Freewill)
Secara umum makna kebebasan dalam ekonomi, dapat melahirkan dua pengertian yang luas, yakni; kreatif dan kompetitif. Dengan kreatifitas, seseorang bisa mengeluarkan ide-ide, bisa mengekplorasi dan mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan ekonominya untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan dengan kemampuan kompetisi, seseorang boleh berjuang mempertahankan, memperluas dan menambah lebih banyak apa yang diinginkannya. Dalam ekonomi Islam, makna kebebasan adalah memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya sesuai perintah syara’. Kebebasan ekonomi Islam adalah kebebasan berakhlaq. Berakhlaq dalam berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi. Dengan kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan produktifitas dalam ekonomi. Dengan dasar ayat diatas juga, Islam menyarankan manusia untuk produktif. Kegiatan produksi adalah bagian penting dalam perekonomian.
9.      MEKANISME DISTRIBUSI EKONOMI ISLAM
·         Pengertian Distribusi
Distribusi adalah suatu proses (sebagian hasil penjualan produk) kepada faktor-faktor produk yang ikut menentukan pendapatan . Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan distribusi adalah penyaluran barang ketempat-tempat. Sementara Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi itu sebagai suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui pasar) atau dengan cara lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat
Jadi konsep distribusi menurut pandangan islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja  serta dapat memberikan kontribusi kearah kehidupan manusia yang baik
·         Tujuan Distribusi 
Semua pribadi dalam masyarakat harus memperoleh jaminan atas kehidupan yang layak. Atas dasar dapat kita lihat beberapa tujuan ekonomi islam yaitu sebagai berikut:
1.      Islam menjamin kehidupan tiap pribadi rakyat serta menjamin masyarakat agar tetap sebagai sebuah komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.      Islam menjamin kemaslahatan pribadi dan melayani urusan jamaah, serta menjaga eksistensi negara dengan kekuatan yang cukup sehingga mampu memikul tanggung jawab perekonomian negara.
3.      Mendistribusikan harta orang kaya yang menjadi hak fakir miskin, serta mengawasi pemanfaatan hak milik umum maupun negara.
4.      Memberikan bantuan sosial dan sumbangan berdasarkan jalan Allah agar tercapai maslahah bagi seluruh masyarakat.
Nilai Yang Ada Dalam Distribusi Ekonomi Islam
1.    Akidah
2.    Moral
3.    Hukum Syariah . 
4.   Keadilan
·         Mekanisme Distribusi
Mekanisme distribusi yang ada dalam ekonomi islam secara garis besar dikelompokan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu: mekanisme ekonomi dan mekanisme nonekonomi.
1. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme distribusi dengan mengandalkan kegiatan ekonomi agar tercapai distribusi kekayaan. Mekanisme ini dijalankan dengan cara membuat berbagai ketentuan dan mekanisme ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan.  Dalam menjalankan distribusi kekayaan, maka mekanisme ekonomi yang ditempuh pada sistem ekonomi islam diantaranya manusia yang seadil-adilnya dengan cara berikut:
a.       Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab hak milik (asbabu al-tamalluk ) dalam hak milik pribadi (al-milkiyah al-fardiyah).
b.      Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan hak milik (tanmiyatu al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
c.       Laranagn menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonominya
d.      Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
e.       Larangan kegiatan monopoli, serta berbagi penipuan yang dapat mendistorasi pasar.
f.       Laranagn kegiatan judi, riba, korupsi pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
g.      Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma ) hasil dari barang-barang dari SDA milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
2. Mekanisme Nonekonomi
Didukung oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadi musibah bencana alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memilki faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu agar tercapai keseimbangan dan kesetaraan ekonomi maka dapat dilakukan hal-hal berikut:
a.     Pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan.
Pemberian harta negara tersebut dengan maksud agar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rakyat atau agar rakyat dapat memanfaatkan pemilikan secara merata.
b.    Zakat
Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada mustahik adalah bentuk lain dari mekanisme nonekonomi dalam hal distribusi zakat.
c.     Warisan
d.    Shadaqah
Dalam distribusi non ekonomi kita juga mengenal distribusi pendapatan yang berada dalam konteks rumah tangga.  Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak lepas dari terminologi shadaqah
e.     Ganti rugi terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain
Distribusi harta dapat juga terjadi karena adanya ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan yang menimpa seseorang.
f.     Barang Temuan
Salah satu bentuk distribusi harta secara nonekonomi adalah penguasaan seseorang atas harta temuan sehingga apabila ada seseorang telah menemukan suatu barang dijalan atau disuatu tempat umum, maka harus diteliti terlebih dahulu: apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkkan. Misalnya emas, perak, permata dan pakaian, maka barang tersebut harus disimpan dan diumumkan untuk dicari siapa pemiliknya. Jika selama dalam pengumuman ada pemiliknya yang datang maka harta tersebut harus diserahkan. Akan tetapi jika tidak ada yang datang atau tidak ada yang dapat membuktikan bahwa harta tersebut memang miliknya maka harta tersebut menjadi milik orang yang menemukan dan harus dikeluarkan khums dari harta tersebut sebagai zakatnya.
10.  PENGHAMBAT DISTRIBUSI EKONOMI ISLAM
Distribusi berhubungan dengan keadilan dan pemerataan, sedangkan sirkulasi releven dengan frekuensi kegiatan pertukaran barang dan jasa. Untuk kelancaran dan kemashlahatan distribusi dan sirkulasi islam mengharamkan faktor-faktor penghambatnya, antara lain:
a.       Gharar
b.      Ihtikar
c.       Talqqi
d.      Najasy
Faktor penghambat distribusi dan sirkulasi peluang ekonomi adalah riba. Riba adalah tambahan atau memberikan lebihan barang/uang seperti bunga pinjaman atau tukaran. Faktor penghambat distribusi dan sirkulasi keuntungan terjadi dalam akad-akad (muamalat) adalah dusta, khianat, dan dzalim.
Faktor penghambat distribusi pendapatan adalah KKN Faktor penghambat permintaan dan penawaran investasi adalah praktek “capital gaint oriented” yang tanpa batas. Pandangan Islam mengenai konglemerasi dan akuisis. Bahaya konglomerasi inifisiensi secara makro dan membuat persaingan pasar yang tidak sehat dan kongkomerat menutup peluang kapitalisasi bagi pengusaha kecil dan menengah. Sedangkan bahaya akuitis adalah penguasaan capital yang mendorong system kapitalisme yang menguntungkan pemilik saham dominan.
Faktor penghambat lain dari distribusi Ekonomi Islam yaitu :
1.      Miskomunikasi
2.      Mis understanding
3.      Moralitas yang rendah
4.      SDI yang tidak tersalurkan sebagaimana mestinya



11.  TATANAN SISTEM EKONOMI ISLAM
Tatanan Sistem Ekonomi Islam adalah sebuah kerangka dasar dari semua sistem yang tepadu yang mengintegrasikan antara tujuan, konsep, landasan yang diharapkan untuk merealisasikan sistem tersebut sehingga terealisasi. Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan Tuhan), khilafah (perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S. Ali Imran: 191; Shad: 27; al-Mu’minun: 15). Dari pandang tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu. Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini, jelas bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi dari pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya alam sebagai amanah karena statusnya sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta. Pandangan ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25). Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi, bahkan pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor ril menjadi tidak tepat karena mengakibatkan terjadi ketidakadilandan ketidak-merataan.
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan (equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi adalah kerusakan alam yang pada gilirannya adalah ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga pada manusia dalam jangka panjang. Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal.  Tujuan ini juga berhubungan dengan prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij: 24-25).  Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi Islam bisa dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf. Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif, sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru) yang lebih banyak daripada yang mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-sektor yang mampu menyerap semua lapisan. Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah. Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah.  Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena suatu sistem ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.
12.  ASAS PENERAPAN HUKUM ISLAM
Asas hukum islam adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan Hukum Islam.
Macam-macam asas hukum islam adalah sebagai berikut :
1. Adam al-Haraj (Meniadakan Kesukaran)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanakannya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada manusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya.
2. Taqlil Al-taklif (Menyedikitkan pembebanan)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini berguna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.
3. Tadarruj fi al-Tasyri’ (Berangsur-angsur dalam pesyariatan)
Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu.
4. Muthobiqun Li Mashalihil Ummah (Sejalan dengan kemashlahatan ummat)
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, agama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.
5. Tahqiqul ‘Adalah (Menghendaki adanya realisasi keadilan)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatapi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam. 
Ada tiga pilar yang menjadi landasan : Pertama: ketakwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di tengah-tengah masyarakat.Kedua: sikap masyarakat untuk saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi perilaku penguasa. Ketiga: negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum syariat. Sekalipun terdapat ketakwaan individu dan kontrol sosial, pelaksana tathbîq al-ahkâm adalah negara. Realitas menunjukkan bahwa individu dan masyarakat melaksanakan Islam. Adapun negara adalah pihak yang menegakkan dan bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, negara Khilafah merupakan metode tathbîq al-ahkâm. Padanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syariat Islam. Kepala negara (Khalifah) beserta aparatnya adalah yang menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya. Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ»
Imam/Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat: Yusuf an-Nabhani, Al-Fath al-Kabîr, II/330-331).
13.  HUKUM POLITIK EKONOMI ISLAM
1.      Pengertian Politik Hukum
Politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara.
2.      Politik ekonomi Islam
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hokum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (bacis needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan taip orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagi individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu.
3.      Politik Hukum Ekonomi Syariah
Perkembangan politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil.Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.
Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum bank syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini ‘prinsip syariah’ secara definitif terakomodasi.Eksistensi bank syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11).